Artikel ini ditulis oleh Nasih Widya Yuwono.
Di sebuah lembah bekas tambang nikel yang telah lama ditinggalkan, tanah berdebu dan berserakan batuan kasar, tumbuh satu per satu batang pohon menjulang tinggi dengan pelepah menyirip dan buah tergantung rapat seperti sisir raksasa. Itu adalah pohon aren—pohon yang selama ini dipandang sebelah mata, tapi kini bersinar dalam diskusi energi terbarukan dan pemulihan lahan pasca tambang.
Indonesia, negeri yang menyimpan berjuta jenis flora tropis, ternyata juga menyimpan masa depan energi dalam serat dan nira pohon aren. Banyak yang tak menyadari bahwa nira aren, cairan manis yang biasanya dimasak menjadi gula semut atau gula merah, menyimpan potensi lebih dari sekadar pemanis tradisional. Nira tersebut bisa difermentasi dan disuling menjadi bio etanol—bahan bakar cair alternatif yang bersih, terbarukan, dan ramah lingkungan.
Pohon aren (Arenga pinnata), yang sering ditemukan di lereng perbukitan dan kawasan pedesaan, memiliki kelebihan luar biasa. Ia kuat, tidak manja, mampu tumbuh di lahan marginal, bahkan di lahan yang telah kehilangan struktur tanahnya seperti kawasan pasca tambang.
Sistem perakarannya yang dalam dan menyebar membuat aren mampu menstabilkan struktur tanah, mencegah erosi, dan membantu mengembalikan kesuburan biologis tanah. Inilah yang membuat para peneliti dari berbagai kampus mulai melirik aren sebagai solusi ekologis dan sekaligus ekonomis.
Beberapa proyek percontohan di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra telah dimulai sejak 2023, ketika pemerintah dan kampus-kampus mulai menggandeng perusahaan tambang untuk membangun program tanggung jawab sosial berbasis ekologi dan energi. Di lahan-lahan yang sebelumnya merupakan lubang tambang, kini ditanam ribuan pohon aren secara bertahap. Pola tanam dilakukan dengan metode agroforestri, memadukan tanaman keras, semak pelindung, dan pengelolaan mikroba tanah untuk mempercepat pemulihan ekosistem.

Proses produksi bio etanol dari aren pun terus dikembangkan. Dalam pendekatan teknisnya, nira dari tandan aren disadap setiap hari menggunakan metode higienis agar tidak tercemar mikroba liar. Nira segar ini kemudian difermentasi dalam wadah tertutup menggunakan ragi alami yang dikembangkan dari Saccharomyces cerevisiae. Proses fermentasi berlangsung selama 2–3 hari, kemudian dilanjutkan dengan destilasi untuk memisahkan etanol dari sisa cairan.
Hasilnya adalah etanol berkadar tinggi yang dapat digunakan sebagai bahan bakar, baik dalam bentuk murni (E100) untuk mesin tertentu, atau dicampur dengan bensin sebagai biofuel E20 atau E10, seperti yang telah diterapkan di Brasil dan beberapa negara di Asia Tenggara.
Dari segi sosial, proyek ini membawa perubahan besar. Masyarakat sekitar lahan tambang yang sebelumnya kehilangan sumber penghidupan kini memiliki lapangan kerja baru sebagai penyadap, pengelola fermentasi, teknisi destilasi, dan pelatih agroforestri.
Dari sisi ekologis, hasilnya mulai tampak nyata. Dalam 3–5 tahun, lahan pasca tambang yang sebelumnya gersang mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan: tanah menjadi lebih remah, mikroba tanah meningkat, dan satwa liar mulai kembali.
Kampus-kampus pun mulai menyusun kurikulum baru. Di Fakultas Pertanian dan Kehutanan, muncul mata kuliah “Bioenergi Tropis Berbasis Aren”. Di Teknik Kimia, mahasiswa membuat prototipe pemrosesan nira menjadi bioetanol skala rumah tangga. Di Ilmu Tanah, kajian mengenai rehabilitasi lahan pasca tambang menggunakan aren menjadi salah satu topik skripsi yang paling populer. Di tingkat pascasarjana, tesis dan disertasi tentang energi dari palma tropis semakin banyak muncul di jurnal ilmiah nasional dan internasional.
Sebagian pihak juga mengusulkan untuk memadukan budidaya aren dengan pengembangan ekowisata edukatif. Kawasan bekas tambang yang ditanami aren dan dilengkapi jalur interpretatif, menara pengamatan, serta pabrik bio etanol mini. Ini dapat menjadi lokasi wisata pendidikan bagi siswa, mahasiswa, dan pengunjung internasional yang ingin belajar langsung tentang solusi integratif antara energi dan rehabilitasi lingkungan.
Mimpi ini tidak berlebihan. Kita telah melihat bagaimana aren menjadi solusi. Di Luwu Timur, petani lokal kini tidak hanya menyadap nira, tapi juga mengelola koperasi bio etanol desa. Di Bangka Selatan, lahan timah yang rusak berubah menjadi kebun palma produktif.
Di Morowali, lubang tambang yang dulu ditinggalkan kini menjadi pusat pelatihan agroenergi. Semua ini terjadi bukan karena keajaiban, melainkan karena kerja kolaboratif antara ilmu pengetahuan, teknologi, masyarakat, dan komitmen jangka panjang.
Satu pelajaran penting dari perjalanan ini: alam tidak pernah benar-benar mati, ia hanya menunggu disentuh dengan cara yang benar. Aren mengajarkan kita bahwa bahkan dari lahan tergelincir, bisa tumbuh harapan dan energi. Dari batang berserat, bisa keluar bahan bakar yang menggerakkan. Dari nira manis, bisa mengalir masa depan yang bersih.
Kita tidak sedang berbicara tentang nostalgia masa lalu, ketika nenek moyang menyadap aren untuk kebutuhan gula dapur. Kita sedang menatap masa depan, ketika cucu-cucu kita akan mengisi motor listrik hibrida mereka dengan bahan bakar dari kampung. Dan semua itu dimulai dari satu keputusan sederhana: menanam aren di tanah yang terluka, dan merawatnya seperti kita merawat harapan.
Karena di balik pelepah yang menjuntai dan nira yang menetes perlahan, tersimpan jawaban atas dua pertanyaan zaman: bagaimana kita menyembuhkan bumi, dan bagaimana kita tetap melaju.(disadur dari facebook Nasih Widya Yuwono)