Komisaris Jenderal Polisi R Ahcmad Nurwahid, sempat terpapat paham radikalisme tingkat tinggi. Diawal kariernya sebagai polisi aktif, ia pernah berniat akan jihad ke Afganistan. Namun, kesadarannya muncul manakala ia menemukan ‘ideologi” baru, yaitu Ilmu Tasawuf. (Bagian 2 – Habis)
Ilmu Tasawuf ini pula yang mengubah Nurwahid, dari orang yang terpapar radikalisme tingkat tinggi menjadi orang yang kembali normal di masyarakat dan lingkungan kerja. Dikarenakan guru atau mursyid yang mampu memberikannya pemahaman tentang agama dengan benar.
Tahun 2006, Nurwahid sudah sadar dan tidak terpengaruh lagi dengan paham radikalisme. Ia diangkat menjadi Kepala Detasemen 88 Anti Teror (belum ada tugas Khususnya). Saat itu masih di bawah Polda atau di bawah Departemen Serse. Sejak saat itu, Nurwahid diberikan tugas besar yang justru bertentangan dengan paham yang dikenalnya sebelumnya.
“Saya baru mengenalkan diri saya secara terbuka tentang bahwa latar belakang pernah terpapar radikal, pada tahun 2015. Sebagai Kepala Densus 88 dan memiliki latar belakang memahami radikalisme. Saya bahkan mampu menobatkan 1.200 napi teroris dari Jamaah Al Qiyadah Al Islamiyah untuk kembali ke Pancasila dan NKRI,” ucapnya.
Sebagai seorang mantan radikal yang kini jadi jenderal, satu yang tidak hilang dalam semangatnya adalah jiwa militansi dan semangat berjuang. Dulunya militansinya untuk melawan NKRI dan melawan thagut (anshorut thagut untuk mendirikan negara Islam). Sekarang ia bulatkan berjihad untuk membela NKRI.
Menurutnya, virus radikalisme itu seperti halnya virus AIDS. Apabila menyerang seluruh organ tubuh akan menghilangkan daya imun tubuh manusia. Kalau dibiarkan memapar ke seluruh tubuh institusi negara dan masyarakat akan kehilangan imunitas ketahanan bangsa ini.
Virus radikalisme ini adalah penyakit politik dan penyakit spiritual. Disebut penyakit politik karena berbentuk satu gerakan yang ingin merebut kekuasan yang sah dan ingin mengganti ideologi Pancasila dan sistem negara. Penyakit politik ini memiliki kecenderungan ingin merebut kekuasaan secara in-konstitusional, yaitu melanggar kesepakatan yang telah ada.
Sejatinya ideologi radikalisme adalah gerakan yang memanipulasi agama. Memakai tampilannya mengedepankan agama dan ritual keagamaan tetapi sangat lemah pada spiritual keagamaan.
Para pelaku radikalisme tidak sedikit yang hafal Qur’an. Banyak dari mereka lulusan Timur Tengah dan berderet gelar pendidikan. Namun mereka lemah pada akhlak kebangsaan.
Kelompok radikalisme dan terorisme kerap memantik atau menyulut persoalan dengan berbagai pertanyaan yang ganjil. Sebagai contoh mereka kerap mengatakan “Apa sih bahayanya terorisme? Bukankah korbannya tidak lebih banyak dari korban kecelakaan, korban pandemi korona ataupun korban narkoba?”.
Dijelaskan Nurwahid, jika melihat korban aksi ataupun dampak aksi terorisme dari tahun 2002 hingga 2921 memang belum menyentuh angka seribu orang korbannya. Namun, terorisme tidak bisa dilepaskan dari radikalisme. Aksinya, tindakannya dan perbuatannya tidak dapat dilepaskan dari radikalisme yang menjiwai aksi terorisme.
Jumlah orang yang menjadi radikal di Indonesia, estimasinya ada sekitar 17.000 orang. Sifatnya juga sangat rahasia (klandestin). Jaringannya jelas Jamaah Islamiyah, jamaah Ansharut Daulah, Jamaah anshorut Khilafah, Jaringan Mujahidin Indonesia Timur, Mujahidin Indonesia Barat yang berafiliasi ke ISIS dan sebagainya.
Radikalisme adalah paham yang menuju terorisme. Sehingga dapat dikatakan semua teroris dipastikan berpaham radikalisme. Tetapi tidak semua radikalisme otomatis adalah teroris. Jadi semua terorisme sudah pasti bersikap in-toleran dengan orang lain yang berbeda dengan diri dan kelompoknya.
Faktor pemantik radikal teroris juga dipantik oleh faktor kemiskinan atau ekonomi-kesejahteraan, faktor ketidakadilan, ketidakpuasan politik-sosial, faktor kebencian dan dendam, faktor kebodohan atau pendidikan, faktor sistem yang lemah.
Bagi masyarakat yang telah terpapar, baik tingkatan rendah, kadang sedang dan sudah intoleran, dipastikan mereka sudah menyebarkan konten-konten radikal. Kelompok ini juga sering mem-bid’ah-bid’ah-kan kelompok lain, tidak menghormati keragaman, mendiskreditkan pemerintah, mengadu domba, dan lain-lain.

“(Pernyataan) bagus mana negara Islam dengan negara kafir? Bagus mana Pancasila dan Al Quran? Di Nasrani juga begitu, dibenturkan bagus mana Injil dengan Pancasila? Setujukah kamu jika Indonesia menjadi negara Islam? Setujukah kamu jika negara dikuasai dengan orang Nasrani saja? Itu akan begitu seterusnya. Terus dibenturkan,” tegasnya.
Menurut Nurwahid, terorisme berdasarkan agama bukanlah monopoli satu agama saja. Tetapi biasanya didominasi oleh umat beragama yang mayoritas di suatu wilayah atau negara. Kebetulan di Indonesia ini mayoritas Islam. Itu sebabnya, semua teroris yang ditangkap KTP- nya beragama Islam dan tidak sedikit yang hafal Al- Quran.
“Makanya saya sering katakan seorang yang hafal Al Quran pun bisa terpapar. Profesor pun bisa terpapar. Kapten pun bisa terpapar. Jadi semua orang bisa terpapar. Tidak mengenal pangkat, profesi, level akademik dan lain sebagainya,” ucapnya.
Menurutnya, akar radikalisme yang mengatasnamakan agama, adalah ideologi. Sementara faktor kemiskinan dan lain-lain hanyalah faktor pemantik dan pemicu saja.
“Dengan pola pikir orang-orang radikal teroris seperti ini maka dapat dipetakan. Penanganannya tidak dapat secara parsial di hulu saja tetapi harus holistik, dari hulu sampai hilir. Paling hulunya adalah kesiapsiagaan nasional, yaitu upaya pencegahan dan meningkatkan imun dalam menolak paham radikal,” tegasnya.(Yuliawan Andrianto)