Achmad Nurwahid, Jenderal yang pernah Terpapar Radikalisme

“Sebelum kasus Bom Bali di tahun 2002, Indonesia adalah negara yang aman dan damai tanpa adanya serangan terorisme. Pemerintah Republik Indonesia bahan belum memiliki perangkat undang-undang yang mengatur tentang kejahatan kemanusiaan ini”

Cerita tentang mulai maraknya paham radikalisme yang melatari kejadian kasus terorisme di Indonesia, diungkap oleh Direktur Pencegahan di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia(BNPT-RI), Brigadir Jenderal (Brigjen) Polisi,  R. Achmad Nurwahid, saat penutupan Rapat Kerja Nasional Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang berlangsung di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Barat, Rabu (3/3/2021).

Nurwahid mengisahkan jika ia pernah terpapar paham radikalisme tingkat tinggi sekitar pertengahan tahun 1995. Karier Jenderal  bintang satu ini dilalui  dengan lika-liku karir yang berwarna. Tidak monoton. Bagaimana tidak, dinas pertamanya di kota Surabaya, tahun 1991-1992. 

Direntang tahun tersebut Nurwahid sudah dipercaya sebagai komandan pleton Taruna Akpol, selanjutnya menjabat Komandan Pleton Candradimuka di Magelang dan dinobatkan sebagai Kapolsekta Salatiga Utara.

Saat menjabat sebagai Kapolsek Banjarsari Solo pada akhir tahun 1994,  dasar keagamaan Nurwahid muda sangat bergelora. Ia bahkan menjadi santri Pesantren Pondok Al Mukmin Ngruki. Tahun 1990-an, pondok pesantren pimpinan Abu Bakar Ba’asyir ini tidak saja mendidik sebagai muridnya santri agama saja, namun juga diberi kekuatan fisik berupa latihan semi militer.

“Saya secara informal mondok di sana. Setiap pekan kami mengikuti kajian-kajian agama. Termasuk, ekstrakurikuler semi militer tersebut. Saat itu fenomena radikalisme dan terorisme belum santer di Indonesia. Pemerintah belum peduli  akan ancaman radikal terorisme yang berselubung agama,” ujarnya.

Saat terjadi peledakan Bom Bali pertama tahun 2002, baru ketahuan kalau yang melakukan sebagian besar adalah alumni pesantren Al Mukmin Ngruki. Amir atau  pemimpinnya adalah Abu Bakar Ba’asyir, yang selama ini menjadi panutan dalam setiap kajian-kajian agamanya.

Dijelaskan Nurwahid, saat itulah Pemerintah Indonesia sadar dan mulai muncul perhatian serta kepedulian terhadap radikalisme dan terorisme.  Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Saat itu, Nurwahid muda yang kerap mengikuti pengajian agama di Pesantren Al Ngruki, sudah masuk pada fase transisi. Seorang polisi muda yang haus akan  ilmu agama, namun salah dalam memilih guru dan  tempat belajar. Bukannya ilmu agama bertambah, malah terjerumus dalam paparan paham radikalisme dan terorisme.

Nurwahid muda saat itu sudah melakukan sumpah bai’at, sudah melakukan liqo (pertemuan) dan melakukan i’dat  (latihan perang) di Tawangmangu. Karena, “kesibukannya” inilah Nurwahid kerap tidak masuk kantor dan meninggalkan tugas-tugasnya sebagai pengayom masyarakat. 

Akhirnya, ia dipindah ke Polda Jawa Tengah. Namun, di tempat barunya pun, kebiasaan Nurwahid tidak berubah. Ia masih sering melakukan perjalanan ke Tawangmangu dan Solo, untuk mengikuti kajian berbagai kajian dan cuci otak ala teroris.

“Sekiranya saat itu telah terbit UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tentu saya sudah ditahan oleh Densus 88 Anti Teror. Karena saya pasti sudah dikategorikan sebagai seorang teroris. Karena niatan saya sudah sampai pada titik ingin berangkat ke Afganistan. Belakangan saya tahu kalau saya telah masuk dalam jaringan Jamaah Islamiyah,” kenangnya.

Negara Afganistan dipilih karena dinilai menjadi ladang jihad yang paling potensial. Saat itu,  Uni Soviet sedang jatuh dan terjadi perebutan kekuasaan antara berbagai fraksi disana seperti Taliban, Mujahiddin dan sebagainya.

Karena tidak pernah masuk kantor, akhirnya Nurwahid dikenakan sidang disiplin. Namun bukan disidang karena paparan radikalisme dan terorisme. Saat itu pemerintah, ujar Nurwahid,  belum mengerti tentang konsep radikalisme-terorisme.  Institusi negara seperti TNI dan Polri pun belum memetakan potensi dan bahayanya. Akhirnya, Nurwahid disidang dengan dugaan indisipliner.

“Para pimpinan saya yang akan menyidang hanya tahu jika Nurwahid seorang yang fanatik. Mereka tidak tahu jika saya sudah terpapar radikalisme tingkat tinggi. Mereka tahunya, saya senang berontak, senang protes, pokoknya macam-macamlah. Saat sidang disiplin, saya sempat melawan. Bahkan, saya menggebrak meja. Sehingga hukuman saya ditambah dari indisipliner ditambah insubordinasi,  melawan pimpinan. Dan akhirnya saya ditahan selama 21 hari,” ingatnya.

Nurwahid menjelaskan, tipikal dan karakter orang radikal adalah sensitif, temperamen, merasa benar, apalagi jika yang dihadapi adalah orang kafir. Maka  kelompok radikal ini akan selalu mengatakan “darahnya halal untuk ditumpahkan”.

Karena setiap orang yang tidak sepaham dengan kelompok mereka akan dikatakan kafir. Begitupun dengan orang non muslim. Negara ini, dianggap  thagut  (negara sesat). Polisi sebagai perangkat negara juga dianggap pengarkat yang sesat dan kafir. 

Sebagai Direktur Pencegahan BNPT RI, Ahcmad Nurwahid, saat berkunjung ke Kaltim pada November 2020.(Foto: Dok)

“(Saat itu) Saya ini masih polisi aktif. Tetapi saya masih mau makan gajinya (walaupun saya thagut).  Karena memang masih perlu (akan gaji tersebut). Jadi memang sulit untuk membedakan orang yang radikal dengan orang munafik,” ujarnya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Singkat cerita, usai menjalani hukuman, Nurwahid, dipindahkan ke Bagian Lalu Lintas Polda Jateng dan menduduki jabatan Kasubbag Lalu Lintas. Satu hal  positif, orang radikal, ujarnya, adalah bila diarahkan ke jalan yang benar dan positif, maka orang radikal tersebut selalu mencari tantangan baru. 

Karena pimpinan di kepolisian mengetahui potensi dalam dirinya, akhirnya  Nurwahid, pelan-pelan ditarik dari rutinitas pengajian dan kumpul komunitasnya.

Perwira cerdas ini lambat laun diberikan tugas yang setiap tugasnya selalu berhasil cemerlang dilaksanakan. Kesibukan ini menjadikan jenderal bintang satu kini mulai menjauh dari komunitas jamaahnya dan keinginan untuk jihad ke Afganistan pun lenyap.

Lambat laun tapi pasti,  akhirnya tahun 2006 setelah berpindah-pindah jabatan, Nurwahid mendapatkan ideologi baru, yaitu ilmu Tasawuf. Ilmu ini  diyakini adalah yang paling benar. Bahkan, ilmu Tasawuf yang dikenalnya, telah menggantikan paham radikalisme yang selama ini menjadi ideologinya. 

“Jadi kalau ada ada mantan narapidana kasus terorisme yang masih Wahabi, maka belum tercabut akar ideologinya. Hanya terkurangi  paham radikalnya. Bisa karena kooperatif atau bisa juga karena taqiah. Taqiah ini adalah bersiasat untuk menyembunyikan diri dari dukungan anshorut thagut (TNI-Polri),” ujarnya.

Sebelum mengenal ilmu Tasawuf, Nurwahid mengaku memahami pilar agama Islam itu ada tiga yaitu Rukun Islam, Rukun Iman dan jihad. Namun sejatinya dalam Islam adalah agama yang Rahmatan Lil Alamin. Rahmat bagi sekalian alam. Sehingga  ideologi Islam itu bukan saja Rukun Islam, Rukun Iman. Tetapi juga ada pilar Ihsan. Ihsan ini adalah perilaku dan berakhlak, dan budi pekerti yang baik. Terhadap siapa saja termasuk orang yang berbeda agama.

Untuk mencapai pilar Ihsan, ujarnya, seseorang harus memiliki guru  rohani atau guru spiritual yang juga berakhlak baik. Beragamanya seseorang sangat ditentukan oleh guru, ustadz atau mursidnya. Guru, ustad atau mursid inilah yang menjadi pintu masuk pemahaman keagamaan dan cara beragama seseorang,

“Kalau guru spiritualnya, ustadnya intoleran, maka dia akan intoleran. Kalau ustadnya radikal maka muridnya akan radikal. Kalau ustadnya teroris maka ia akan jadi teroris. Tetapi kalau ustadnya Rahmatan Lil Alamin, aswaja, ahlakul karimah, maka  muridnya akan menjadi lebih baik,” ujarnya.(Bagian 1. Bersambung)

About Redaksi

Check Also

Kesiapsiagaan Menghadapi Ancaman Konflik Penggunaan Air di Masa Akan Datang oleh FREDDY BARUS

Kesiapsiagaan bela negara merupakan aktualisasi nilai-nilai bela negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai …

Sudarno Sayangkan Wali Kota Samarinda Turut Komentari Kritikan Anggota DPR RI

Poskaltim.id, Samarinda — Wakil Ketua Golkar Kaltim bidang Media dan sekretaris Badan Pemenangan Pemilu Golkar …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *