Poskaltim.id, Malang — Administratur Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Malang, Jawa Timur, Loesy Triana mengungkapkan KPH Malang memiliki kawasan hutan mangrove yang cukup luas yang berada di kawasan pesisir pantai selatan. Kondisinya terjaga kelestariannya dan berfungsi sebagai media penetral emisi karbondioksida (CO2). Bahkan keberadaannya juga dimanfaatkan sebagai destinasi wisata KPH Malang.
“KPH Malang juga memiliki hutan yang dikembangkan sebagai agroforestri yang dikerjasamakan dengan masyarakat. Dengan demikian fungsi hutan selain sebagai penyangga ekosistem juga penyerap emisi CO2. Hutan dapat pula sebagai destinasi wisata dan kesejahteraan masyarakat,” ujar Loesy Triana dalam Diskusi Multi Usaha Kehutanan Mendukung Indonesia’s Folu Net Sink 2030 di KPH Malang, pada Jum’at (12/5/2023).
Hutan mangrove ini diharapkan dapat membentengi Malang dari dampak perubahan iklim global yang disebabkan dari meningkatnya kadar gas karbon CO2 di udara . Kita tahu jika kadar CO2 meningkat karena pembakaran fosil kendaraan bermotor dan kegiatan industri yang ada di dunia, dampak dari rumah kaca atau lebih dikenal dengan Gas Rumah Kaca (GRK).
Multiusaha kehutanan merupakan salah satu konsep pengelolaan lahan berbasis lanskap yang memiliki peranan dalam mendukung pencapaian Enhanced Nationally Determined Contributions (NDC) dan pemenuhan target Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
Sebagai amanat Undang-Undang Cipta Kerja, multiusaha kehutanan dapat diterapkan oleh pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dalam rangka meningkatkan aktivitas bisnis perusahaan di dalam kawasan hutan. Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 menekan emisi gas rumah kaca. Oleh karenanya keberadaan hutan lindung sebagai paru paru dunia perlu menjadi perhatian bersama
Ketua Bidang Satu, Indonesia’s Folu Net Sink 2030 Istanto menjelaskan yang ingin dicapai melalui penurunan emisi GRK dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan dengan kondisi dimana tingkat serapan sama atau lebih tinggi dari tingkat emisi.
Upaya Indonesia untuk mencapai Indonesia’s FoLU Net Sink 2030 perlu diikuti dengan alokasi lahan yang selektif dan terkontrol untuk pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang adil dan merata bagi masyarakat Indonesia.
“Keberadaan hutan yang memiliki serapan terhadap GRK seperti hutan mangrove, hutan alam dan hutan gambut memiliki multifungsi. Emisi CO2 juga juga bisa dimanfaatkan sebagai destinasi wisata dan juga memiliki nilai komersial yang dapat diperdagangkan sebagai penyerap karbon emisi dengan syarat dan ketentuan harus memiliki sertifikasi standard verifikasi dan legalitas sebagai penurun emisi karbon minimal berkategori silver,” jelas Istanto.
Melalui FDG ini diharapkan menjadi pilar penting untuk mendukung tercapainya target NDC dan Indonesia’s FOLU Sink FOLU 2030 serta sebagai bagian dari aksi mitigasi perubahan iklim. Kegiatan pemanfaatan Jasa Lingkungan berupa penyerapan dan/atau penyimpanan karbon pada hutan lindung maupun hutan produksi merupakan salah satu kegiatan multiusaha Kehutanan untuk peningkatan cadangan karbon.
Diharapkan FGD yang melibatkan akademisi, pakar dan pemerhati kebijakan kehutanan, dunia bisnis dan masyarakat ini dapat meningkatkan pemahaman terkait multiusaha kehutanan secara berkelanjutan.(Penulis: Buang Supeno)