Pakan Berlimpah, Bisnis Walet Teluk Adang Menggairahkan

Paser – Bisnis burung walet (Apodidade) tidak lagi mengandalkan dari hasil walet yang hidup di alam liar. Hampir 20 tahun lalu, banyak orang merintis usaha rumah walet untuk menghasilkan sarang-sarang berkualitas super, layaknya hasil alam.

Itu juga yang dilakukan oleh beberapa warga di Desa Teluk Adang, Kecamatan Long  Ikis, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Kawasan desa yang masuk dalam cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 86 Tahun 199 ini,  memiliki hutan bakau yang masih terjaga. Begitupun dengan beberapa hutan lainnya masih ada walaupun setiap tahunnya tergerus oleh eksploitasi oleh warga.

Kepala Desa Teluk Adang,  Kurniansyah mengatakan, di desanya ada sekitar 200-an rumah walet. Yang paling awal dibangun warga sekitar tahun 2000-an.

“Tadinya warga heran, mengapa ada orang yang mau membangun sebuah bangunan besar hanya untuk tempat walet bersarang. Apalagi kan profesi warga kami umumnya adalah nelayan,” ujarnya ditemui saat kunjungan jurnalistik wartawan yang difasilitasi Humas Pemprov Kaltim pada pertengahan November.

Kurniansyah menjelaskan jika pemilik rumah walet pertama di desanya adalah milik Haji Rhoma yang saat ini mampu berproduksi 10 Kg sarang walet dengan nilai ratusan juta setiap bulannya. Sejak panen perdana pada tahun 2000-an, banyak warga meniru usaha walet milik Haji Rhoma ini.

Menurut Kurniansyah jumlah rumah walet yang meningkat tajam ini dikarenakan usaha ini sangat menjanjikan bagi warga. Sebagai usaha sampingan, memiliki rumah walet ibarat memiliki tabungan dan pasif income. Betapa tidak, walet yang dibudidayakan hanya disediakan tempat bermalam saja. Selebihnya, saat pagi mereka pergi mencari makan dan kembali ke “hotel” mereka pada sore hari.

“Makanan walet masih berlimpah di Desa Teluk Adang ini. Karena pohon-pohon masih banyak. Hutan bakau juga masih lebat. Apalagi kan desa kami ini masuk dalam cagar alam. Terjaga, tidak ada perambahan dari orang luar. Makanya usaha walet ini masih bagus,” tuturnya.

Bahkan Kurniansyah memperkirakan jutaan walet yang kini menghuni desanya adalah walet “pindahan” dari sarang-sarang di perkotaan. Sebut saja dulu banyak rumah walet di kota Balikpapan. Ia memperkirakan walet yang ada di desanya adalah hasil migrasi walet dari Balikpapan yang sudah terbatas jumlah makanan alaminya.

Cerita sukses rumah walet milik Haji Rhoma menularkan banyak inspirasi bagi warga lainnya. Bangunan rumah walet yang dimiliki Haji Rhoma kini berjumlah dua unit dengan ukuran lebih dari 50 x 75 meter. Tingginya mencapai 15 meter. Walau terlihat mewah bak sebuah bangunan mahal biaya, namun ternyata ongkos pembuatan rumah walet ini dapat disubstitusi dengan bahan bangunan lain yang lebih murah.

Di Desa Teluk Adang, “hotel” walet ini banyak dibangun dengan dinding dan atap dari seng asbes. Di Dalamnya dilapisi dengan busa gabus (styrofoam) dan sejumlah bak mandi untuk menjaga kelembaban. Maklum di alam liar, burung dengan banyak sebutan nama daerah ini lebih menyukai kondisi alam mirip di dalam gua yang lembab, sejuk dan gelap.

Pak Iwan (50) penjaga kepercayaan rumah walet milik Haji Rhoma menuturkan pembuatan rumah walet tidak harus mahal. Bahkan rumah walet milik warga dengan ukuran 20 x 50 meter dapat dibangun dengan biaya sekitar Rp50 Jutaan saja.

“Tidak harus mahal. Yang sederhana dan murah juga bisa. Yang penting menjaga kebersihan dan mengusir hama pengganggu burung di dalam. Kan bisa saja ada tikus atau kutu-kutu yang tidak terlihat di dinding bangunan. Itu yang harus sekali-kai dibersihkan,” jelasnya.

Lanjut pria paruh baya ini, pemilik bangunan hanya perlu membunyikan alat pemutar suara. Karena pemutar suara ini akan mengingatkan walet untuk kembali ke sarang ketika mereka usai mencari makan di siang hari.

Menurutnya, untuk walet dewasa memang sudah hafal secara naluri untuk kembali ke sarang mereka. Walet, ujarnya mampu mengenali dimana sarang mereka walaupun ada banyak bangunan serupa di sekitarnya. Namun, yang dikhawatirkan adalah walet remaja yang baru ke luar sarang. Saat mereka kembali bisa tersesat. Dengan bunyi-bunyian itulah menarik mereka untuk kembali.

Walet yang memiliki sarang bernilai emas ini, mulai membuat sarang mereka dari air liurnya setelah usia enam bulan. Burung berwarna hitam ini akan mampu berproduksi dengan baik umumnya setelah tiga tahun.

“Kalau panen pun kami tidak mengambilnya semua. Sarang yang masih ada anakan tidak kami ambil.  Jadi panen secukupnya untuk menjaga kelangsungan mereka. Ada sebagian pemilik yang mengambil habis sarang mereka. Anakan yang masih kecil ditempatkan di sarang buatan hingga mereka bisa terbang. Sebaiknya tidak begitu,” ujarnya.

Menurutnya, kualitas dan jumlah pakan alami adalah yang berlimpahlah yang paling penting untuk usaha rumah walet ini. Untuk itu ia menyambut baik Program Kampung Iklim+ yang dicanangkan oleh Dewan Perubahan Iklim Daerah (DDPI Kaltim) untuk membantu penurunan emisi karbon (Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund/FCPF-CF) di desa mereka.

Warga juga mendukung program penanaman mangrove di lahan tambak untuk meningkatkan pakan alami ikan. Dengan hutan yang masih terjaga, ujarnya, maka makanan alami walet akan tetap berlimpah.

“Makanan walet ini kan hewan dan binatang  kecil yang ada di pohon bakau dan hutan. Kami di dalam bangunan tidak kita sediakan makanan. Mereka cari sendiri di luar. Kalau hutan habis mana ada yang bisa dia makan. Bisa kosong semua rumah waletnya,” ujarnya dengan logat Suku Bajau yang masih kental.(Yuliawan Andrianto)

About Redaksi

Check Also

Telkomsel Salurkan Bantuan Peduli Banjir Kabupaten Mahakam Ulu dan Kutai Barat

Poskaltim.id, Samarinda —  Melalui Telkomsel Sambungkan Senyuman, perusahaan telekomunikasi ini atas bencana banjir yang melanda …

Tips Mudik Lebaran Aman dan Nyaman Ala Astra Motor Kaltim 2

Poskaltim.id, Samarinda  —  Safety Riding Officer Main Dealer Astra Motor Kaltim 2 membagikan cara berkendara …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *