Poskaltim.id, Samarinda — Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama penegak hukum dan instansi lainnya telah menangkap 535 orang teroris di Indonesia. Ternyata selama ini pemerintah telah melakukan operasi tangkap teroris secara senyap (silent).
Hal tersebut dikatakan oleh Direktur Pencegahan Terorisme BNPT, Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid, mewakili Kepala BNPT, mengatakan hal tersebut pada acara “Perempuan sebagai Agen Perdamaian”, yang berlangsung pada Kamis, (3/11/2020).
“Kita sengaja tidak publish (beritanya). Bayangkan kalau penangkapan sebanyak 535 teroris kita beritakan semua. Setiap hari ada berita teroris. Tentu masyarakat akan resah, masyarakat akan merasa terteror. Kami juga tidak menimbulkan tekanan pada Indonesia. Sehingga mengganggu investasi dan lain sebagainya,” ujar Nurwakhid.
Dijelaskannya Undang-Undang Anti Teror yang baru memungkinkan pemerintah melakukan penangkapan secara diam-diam (silent). Kecuali sudah terjadi aksi seperti kasus di Sigi.
Menurutnya, berbicara terorisme tidak lepas dari radikalisme. Radikalisme adalah paham yang menuju fase terorisme. Semua teroris, tegasnya, pastilah berpaham radikal. Namun tidak semua berpaham radikal otomatis menjadi teroris.
“Teroris itu orangnya, perbuatannya sedangkan radikalisme.adalah fahamnya. Indikasinya, seseorang telah masuk dalam jaringan teroris, indikasi yang kedua mereka sudah disumpah (baiat), kemudian sudah mulai mengadakan pengajian-pengajian kecil. Kemudian melakukan latihan perang, latihan membuat bom, latihan perang serta diindikasikan akan melakukan teror,” Nurwakhid yang sebelumnya di bertugas Densus 88 Anti Teror ini.
Dijelaskannya, ada beberapa macam jenis teroris di dunia ini, misalnya, teroris yang berniat memisahkan dari NKRI seperti yang terjadi terjadi di Papua.
Ada juga teroris yang di latar belakang dan motif bisnis, yaitu bisnis persaingan jaringan narkoba. Ada juga teroris ekstrem individual dan sedang menyasar generasi muda yaitu geng motor, anarkis demo dan premanisme. Teroris jenis ini akan dilakukan pendekatan dengan UU Umum atau KUHP oleh polisis di wilayah masing-masing.
Sementara itu dalam acara Perempuan Sebagai Agen Perdamaian, dibahas bagaimana gerakan teroris yang bermotif politik dan ingin merebut kekuasaan dan menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi agama dan ingin mengganti sistem pemerintahan.
“Menggantikan Ideologi yang bagaimana? Yaitu ideologi khilafah, ideologi daulah. Radikal terorisme yang mengatasnamakan agama bukan monopoli salah satu agama. Radikal terorisme mengatasnamakan agama bukan monopoli salah satu agama. Radikalisme yang mengatasnamakan agama biasanya didominasi oleh agama yang menjadi mayoritas wilayah atau daerah atau negara,” tegasnya.
Generasi muda Indoensia adalah target pada pola rekrutmennya. Sehingga peranan ibu-ibu dalam keluarga sangat vital. Salah satu karakter radikal terorisme adalah militansi tinggi, eksklusif, dan intoleran.
Sementara generasi muda milenial saat ini memiliki ciri dinamis karena masih dalam masa pertumbuhan, senang tantangan, senang sesuatu yang baru, pola pikirnya masih dalam proses pendewasaan sehingga mudah terpapar radikalisme.
Radikal terorisme menyasar generasi muda dengan pengajian-pengajian di sekolah-sekolah, internet dan dunia maya serta mendikotomi agama dan Pancasila.
“Maka peranan ibu-ibu dalam membentengi anak-anak sangat vital. Ibu-ibu harus mengawasi dan menanamkan ideologi Pancasila pada putra dan putrinya baik dalam pergaulan, bahan bacaan hingga dalam pemahaman soal agama,” ucap Ahmad Nurwakhid. (Penulis: Yuliawan A)