Pesona Tanjung Soke Memang Oke!

Poskaltim.com, Kutai Barat — Judul ini menggelitik bagaikan sebuah kata-kata iklan. Bagi orang yang tidak pernah pergi ke Desa Tanjung Soke, mungkin hanya mencibir ataupun tersenyum sinis. Memang ada apa di desa yang jauh dari perkotaan tersebut? Memang ada yang menarik? Ada yang Instagramable gitu?

Mungkin pertanyaan itu yang pertama akan ditanyakan oleh anak-anak milenial yang lahir di era tahun 2000-an. Yang mereka tanyakan pastilah ketersediaan jaringan internet, keberadaan spot yang dapat mewarnai foto-foto di media soisal.

Desa Tanjung Soke, berada di Kecamatan Bongan, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Untuk mencapainya dapat ditempuh dengan dua jalan yaitu melalui jalan poros Samarinda-Tenggarong-Kota Bangun-Resak (Kutai Barat),  atau lewat kilometer 38 jalan poros Balikpapan-Samarinda hingga ke Kelurahan Sotek, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).

Pesona Desa Tanjung Soke adalah karena sejarah dan budayanya. Budaya yang melekat pada warga Suku Dayak Luangan yang kini telah 100 persen memeluk agama Islam dan meninggalkan kepercayaan  Kaharingan yang percaya pada kekuatan animisme dan dinamisme.

Dari Desa Tanjung Soke inilah, logo Kodam VI Mulawarman (dahulu Kodam VI Tanjungpura) lahir. Gambar senjata tajam khas Kalimantan yaitu mandau, sumpit  dan telabang (perisai) terinspirasi dari Mandau Paku Layu yang berasal dari desa terpencil ini.

Konon suatu hari, nenek moyang orang Tanjung Soke yang tidak diketahui namanya berperang dengan hantu yang menguasai warga desa. Setelah bertempur berhari-hari, sang kepala suku berhasil mengalahkan hantu tersebut dan berhasil merebut mandau yang dikuasainya.

“Mandau tersebut terpecah dan terbagi menjadi delapan  bagian. Ada yang terlempar ke Kalimantan Tengah dan ada yang di Tenggarong (Kutai Kartanegara), Penajam (Penajam Paser Utara dan Tanah Grogot (Kabupaten Paser). Salah satu yang tertinggal di Kampung Tanjung Soke ini,” ujar Kepala Adat Kampung Tanjung Soke Sangkunir didampingi oleh Sekretaris Kampung, H Asrani, saat berbincang pada Selasa malam (26/11).

Setelah cerita ini santer beredar, maka pihak Kodam VI Mulawarman kala itu berinisiatif meminta kepada warga Tanjung Soke untuk membawa serta menyimpan mandau keramat tersebut ke kodam sebagai senjata yang akan menjadi simbol pada setiap acara serah terima jabatan komandan kodam. Prosesi ini berlangsung puluhan kali sampai akhirnya kini, prosesi tersebut dihilangkan. Bahkan, setiap prosesi pergantian panglima kodam, tokoh dan warga Tanjung Soke diundang untuk menyaksikan.

Kisah Mandau sakti Paku Layu dan cerita-cerita lainnya pun masih banyak tersisa. Karena warga telah menganut agama Islam yang berazaskan Tuhan yang Esa, maka cerita berbau mitos ini mulai dilupakan warga.

Pesona lainnya yang dimiliki oleh Kampung Tanjung Soke  adalah, di kampung yang masih sulit sarana transportasi jalan, pendidikan, kesehatan, listrik, air bersih dan telekomunikasi ini adalah, keberadaan “mumi” bernama Nenek Mida.

Dikisahkan, Nenek Mida dan suaminya Maq Jembu yang menjabat sebagai Kepala Adat,  pada tahun 1960 memeluk agama Islam dan meniggalkan kepercayaan Kaharingnan yang mendewakan animisme dan dinamisme.  Orang yang mengislamkan petinggi Kampung Tanjung Soke ini adalah KH Abusammad. Sang kiayi mengajarkan agama Islam dan semua tata cara hidup yang sesuai dengan Al Quran dan sunnah Rasulullah Muhammad SAW.

Belum tuntas dakwah KH Abussamad ini kepada warga Tanjung Soke, dirinya lebih dulu meninggal dunia dan menyisakan ajaran Islam yang belum lengkap.  Walaupun hingga hari ini, ajaran yang disebarkan oleh sang kiayi masih dipeluk oleh seluruh warga Tanjung Soke.

Singkat cerita, Nenek Mida meninggal dunia. Sebelum ia meninggal, ia berwasiat kepada anggota keluarga lainnya agar dapat dimakamkan sesuai dengan ajaran Islam. Ia tidak ingin dimakamkan seperti cara-cara pendahulunya.

Umumnya warga Dayak non muslim,  jika meninggal maka akan dilakukan upacara  Kwangkai. Jika belum mampu untuk melaksanakan acara karena keterbatasan dana dan lain-lain, maka jasad disimpan di dalam peti kayu yang disebut Lungun. Setelah beberapa waktu, tulang belulang dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam guci atau tempayan dan ditaruh di tempat tinggi, dengan aneka hiasan pada tiang penyangganya. Setelah upacara adat Kwangkay dilaksanakan, maka tulang belulang tersebut dimakamkan.

Karena pesan Nenek Mida ingin dimakamkan secara Islami, ternyata membingungkan para warga desa. Betapa tidak, saat itu ajaran Islam yang dipeluk oleh warga hanya “kulit-kulitnya” saja. Tidak ada yang paham bagaimana cara memandikan jenazah, ataupun menguburkan secara Islam. Apalagi saat itu, tidak semua warga memeluk Islam. Sebagian besar masih percaya akan kekuatan dewa, ataupun roh-roh yang bersemayam di dalam batu dan pohon-pohon besar.

 Tidak ingin melanggar pesan sang nenek yang merupakan istri dari petinggi adat, warga akhirnya menyimpan jasad Nenek Mida di dalam peti kayu dan diletakkan di dalam rumah panjang (lamin) yang dihuni oleh beberapa kepala keluarga.

Setelah sekitar sepuluh tahun kemudian,  barulah ada para santri dan ulama dari Pondok Pesantren Ar-Rahman Balikpapan yang berkunjung ke desa ini. Akhirnya,  jasad Nenek Mida dimandikan dan dikebumikan dengan tata cara Islam, sesuai dengan permintaannya sebelum wafat.

Namun, keanehan terjadi, saat kotak kayu untuk menyimpan jasad dibuka, jasad Nenek Mida yang telah wafat puluhan tahun lalu, ternyata masih utuh. Kulitnya tidak hancur. Rambut dan kulitnya juga bertambah panjang. Wajahnya segar seperti orang yang sedang tidur. Maka prosesi pemakaman Nenek Mida pun digelar secara Islam.

Setelah sekian bulan Nenek Mida dikebumikan, terjadilah banjir besar di desa yang memang bersisian dengan Sungai Bongan ini. Begitupun dengan hama yang menyerang ladang warga, menggagalkan panen padi. Pokoknya,  bencana tak henti menerjang Kampung Tanjung Soke dalam waktu lama.

“Warga mengira bencana ini karena Nenek Mida yang dimakamkan. Akhirnya, warga menggali makam dan mengangkat jasad Nenek Mida untuk dipindahkan kembali ke dalam kotak kayu, dan disimpan di dalam lamin. Hingga kini, rambut dan kuku Nenek Mida masih tumbuh. Hanya beberapa bagian kulit saja yang telah hancur karena setelah sekian bulan terkubur di dalam tanah,” ucap Sekretaris Kampung H. Asrani yang dibenarkan oleh kepala adat dan perangkat kampung lainnya.

Pesona Mandau Paku Layu  dan cerita “mumi” Nenek Mida inilah yang membuat Desa Tanjung Soke menarik untuk dikunjungi selain hutan-hutan yang masih terjaga dengan baik oleh warga. Disini, udara segar dan bersih selalu tersedia sepanjang hari. Udara malam sangat sejuk karena masih banyaknya pepohonan besar.

Kehidupan desa yang asri masih terasa. Begitupun sejumlah potensi desa seperti madu alam, obat-obatan alami di hutan hingga sejumlah benda-benda langka dan keramat milik desa menjadi aset desa yang tak dapat dinilai dengan rupiah.

Keterbatasan sarana jalan, listrik dan air bersih serta jaringan telekomunikasi memang menjadi kendala utama jika berkunjung ke desa yang sederhana ini. Terputus dengan “dunia luar” karena tidak adanya barang-barang mewah dan berteknologi tinggi menjadi tantangan bagi siapa saja yang ingin mengunjungi desa berlimpah hasil rotan dan madu  alam ini.

Bagaimana? Sudah siapkah nyalimu untuk sejenak lepas dari hiruk pikuk kota dan sihir gadget yang terus menempel disekitar tubuh? Jika sudah siap, Kampung Tanjung Soke nan oke siap menyambutmu.(YAN/RED) https://poskaltim.com/pesona-tanjung-soke-yang-memang-oke/

About Redaksi

Check Also

Manjakan Nasabah, CIMB Niaga Gelar Konser Kejar Mimpi untuk Indonesia di Samarinda

Poskaltim.id, Samarinda – PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) akan menggelar Konser Kejar Mimpi …

Warga Samarinda Mendadak Jutawan dari Tutup Botol Ichitan

Poskaltim.id, Samarinda —  Marwana atau yang akrab disapa Ana (30 tahun) tidak pernah menyangka menjadi …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *