Pernahkah anda mendengar bunyi hantaman dua benda plastik yang berasal dari baskom plastik? Bunyi “buk”,,,’buk”,,,”buk” tersebut disertai teriakan si penjual “baskom anti pecah,,, ember anti pecah”.
Ternyata bisnis ember plastik ini memiliki omzet ratusan juta rupiah hingga miliaran jika lagi ramai pembeli setiap bulannya di tingkat grosir serta laba bersih hingga Rp 30 juta per bulan di tingkat pengecer.
Hal tersebut dikatakan oleh Edi Sulendro, seorang pedagang ember plastik keliling lintas dua pulau Kalimantan dan Sulawesi yang ditemui saat beristirahat di sebuah warung kopi di sekitar daerah Gunung Halat, perbatasan Kalimantan Selatan (Kalsel)-Kalimantan Timur (Kalsel), pada Senin dini hari (13/12/2021).
Edi menceritakan bisnis yang dijalaninya sudah lebih dari 3 tahun ini menggunakan sebuah mobil bak terbuka (pick up) untuk berkeliling dari satu tempat di Kalimantan hingga ke pulau Sulawesi. Tidak sendiri, Edi dan tujuh orang temannya, menjelajah seluruh pelosok desa di Kalimantan dan Sulawesi secara terpisah. Masing-masing membawa satu unit kendaraan bak terbuka yang penuh dengan dagangan aneka plastik.
Barang plastik yang dijualnya mulai dari harga Rp 5 ribuan hingga termahal dengan harga Rp 20-ribuan. Terdapat lebih dari 30 jenis barang plastik yang ditawarkan mulai dari pot bunga, wadah air minum, tampah, ember hingga baskom besar.
Edi yang berasal dari desa Ngembul, Kecamatan Binangun, Kabupaten Blitar saat ditemui seusai perjalanan dari Palu, Sulawesi Tengah, lanjut ke Balikpapan dan diteruskan ke Kota Banjarbaru, Kalsel.
“Di Kotabaru saya ada rumah. Mau istirahat sebentar sambil menunggu kiriman barang dari Jawa. Bisnis ini tampaknya receh tapi kami mengambil untung 20 persen dari modal barang. Jadi lumayanlah,” ujarnya.
Dalam menjalankan bisnisnya Edi menggunakan mobil pick up Mitsubishi L300 diesel berwarna coklat kehitam-hitaman. Mobil ini telah digunakannya sejak tahun 2021. Kebutuhan akan mobil ini untuk menunjang dan menggarap pasar Pulau Sulawesi, khususnya di Sulawesi Utara.
“Berangkat kemarin kami target delapan bulan menjelajah Sulawesi Utara. Alhamdulillah, kemarin dalam satu minggu bisa menjual barang satu kontainer ukuran 40 feet dengan kapasitas muatan sekitar 25 ton. Kami bawa keliling saja menggunakan lima unit mobil bak terbuka keluar masuk desa dan kampung yang ada di Sulawesi Utara. Mulai dari pasar-pasar di pelosok, hingga menggelar dagangannya di tempat padat penduduk,” jelas Edi sambil menyeruput kopi hitamnya.
Diungkapkan Edi, nilai barang dalam satu kontainer 40 feet ini lebih kurang Rp 350 juta. Jika selisih harga jual di ambil untung 20 persen dari harga modal. Misalnya modal harga satu buah ember Rp 20.000 maka harga jualnya tidak kurang dari Rp 24.000 kadang Rp 25.000.
“Jika pot bunga harga modalnya Rp 35.000 per lusinnya, maka dijual dengan harga Rp5.000 per satuan isi 12 buah. Sehingga Rp 5.000 dikalikan 12 buah maka didapatkan hasil penjualan Rp 60.000 dari modal Rp35.000,” jelasnya.
Bisnis ini kelihatannya remeh, tapi dalam tujuh bulan terakhir, Edi dan delapan unit kendaraan lain di kelompoknya mampu menghabiskan barang sebanyak 32 kontainer.
“Kami ambilnya dari distributor. Di Kalimantan ini distributor plastik ada di Samarinda dan Banjarmasin. Kalau di Sulawesi distributor produk ember plastik ini ada di Bitung, Palu dan Makassar,” ungkapnya.
Edi mengakui, berjualan perabot plastik ini konsumen membelinya rata-rata tidak satu buah saja. Apalagi jika dalam satu desa atau kampong, ada acara peringatan keagamaan ataupun perkawinan hingga kenduri. Biasanya konsumen di Sulawesi aau asal Sulawesi biasanya membeli puluhan hingga ratusan buah baskom plastik berbagai ukuran. Kadang barang dagangan satu mobil miliknya habis dalam waktu hanya 5 jam saja.
Selama wabah Covid-19 melanda dunia, imbas pada dagangannya tidak menurun. Bahan plastik seperti pot bunga laku laris manis karena banyak keluarga yang hanya berada di rumah saja. Kaum perempuan menghabiskan waktu di rumah dengan bercocok tanam dan memelihara bunga hias.
“Kadang ibu-ibu membeli pot plastik itu mulai dari yang harga Rp 5.000an hingga Rp 20.000-an, namun tidak cukup satu buah. Paling sedikit membelinya 10 buah,” ucapnya.
Bisnis yang dijalankan oleh Edi ini mampu bertahan sekian tahun karena beberapa kiat dagangnya. Misalnya, jika baru datang ke suatu daerah, yang pertama dilakukan adalah mencari tempat atau rumah yang sewanya murah. Disitu, ia memajang barang dagangannya untuk menarik pelanggan yang melintas.
Biasanya dalam satu lapak minimal tiga bulan bertahan dengan tinggi. Untuk menjaga lapaknya, biasanya ia merekrut penduduk sekitar untuk membantu menjaga dan menjual produk barang dagangannya.
Jika omzet mulai turun, baru bergeser mencari tempat di daerah lain lagi, untuk buka lapak lagi. Dalam tiga kali pindah tempat ini Edi akan merotasi kembali ke lokasi awal.
Edi yang sudah memiliki rumah yang sekaligus difungsikan sebagai gudang untuk barang dagangannya di Banjarbaru ini, biasa menengok keluarga di Blitar, Jawa Timur sebulan satu sekali.
“Saya pulang kampung tidak mesti, kalau lagi pengen pulang ya pulang bisa sebulan sekali, kadang dua bulan baru pulang. Jika pas posisi lagi buka lapak di Manado, saya pulang ya dari Manado ke Surabaya naik pesawat. Nanti tinggal jalan darat ke Blitar,” jelasnya.
Saat ditemui di Gunung Halat ini Edi baru saja menjelajah Kota Manado hingga Kota Palu dengan membawa barang sisa jualan selama beberapa pekan yang belum laku terjual. Ia menyeberang menggunakan kapal ferry dari Palu ke Pelabuhan Kariangau, Balikpapan seorang diri.
“Sudah 8 bulan menjelajah Pulau Sulawesi. Rasanya cukup mau istirahat dulu di Banjarbaru, habis itu baru merencanakan keliling ke pelosok Kalimantan lagi. Dari Palu turun di pelabuhan Kariangau Balikpapan dengan ongkos Rp 3.3 juta sekali menyeberang dengan lama pelayaran sekitar 36 jam. Itupun menyeberang menggunakan calo. Kalau tidak gunakan calo tidak bakal bisa menyeberang,” ungkapnya pasrah.( Penulis : Munanto)