TIM sepakbola Balikpapan dulu dijuluki “Tim Selicin Minyak.” Karena permainannya yang bagus di zaman pelatih Rony Patinasarani tahun 80-an, maka para pengamat menggelari sebagai tim selicin minyak. Itu dikaitkan dengan dengan Balikpapan tempat berdirinya kilang minyak BBM Pertamina.
Tapi yang saya tulis sekarang bukan minyak BBM, melainkan minyak goreng (migor), yang juga lagi “licin-licinnya” alias sulit dicari ibu-ibu di mana-mana. Kalau tidak salah sejak Januari terjadi secara masif. Sampai-sampai ada pasangan yang menikah, salah satu mas kawinnya migor. Rasanya ini bisa masuk buku guinness records, karena pertama kali terjadi dan unik di dunia.
Saya lihat wajah Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan dirjennya yang ngurusi masalah ini, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan sudah kusut masai alias babak belur. Siapa yang nggak pusing tujuh keliling.
Sudah banyak kebijakan Pemerintah diturunkan (mulai operasi pasar, penetapan harga eceran tertinggi atau HET sampai skema domestik market obligation atau DMO), faktanya minyak goreng tetap langka di pasaran termasuk di Kaltim. Ibu-ibu antri di mana-mana sampai ada yang baku pukul dan siup-siupan.
“Waktu SD saya mikir buat apa sih belajar berbaris. Setelah tua ini baru merasakan manfaatnya. Ternyata buat ngantri minyak.” “Waktu Covid varian Delta kita krisis oksigen, eh begitu varian Omicron kita malah krisis minyak.” Begitu banyak meme-meme berkeliaran di medsos rada menyindir.
Migor yang beredar di pasaran Indonesia saat ini hampir semua bahan bakunya dari minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Di beberapa negara lain ada minyak goreng nabati yang diolah dari kacang kedelai dan bunga matahari. CPO adalah minyak nabati yang dihasilkan dari pengolahan kelapa sawit, yang produksinya terbilang stabil dan memenuhi 40 persen kebutuhan dunia.

Produksi CPO Indonesia ada yang diekspor ke berbagai negara, ada yang dipakai untuk kebutuhan dalam negeri. Dari CPO ada yang diolah untuk minyak goreng, ada yang diaduk untuk campuran BBM atau biodiesel dan ada juga untuk keperluan produk turunan lainnya seperti makanan, kosmetik dan industri lainnya.
Waktu saya kecil masyarakat masih menggunakan minyak kelapa (Cocos nuifcera). Dulu sepanjang sungai Mahakam di sekitar Samarinda banyak berdiri pabrik-pabrik kecil pengolah minyak goreng dari kelapa. Kelapanya sebagian besar datang dari Muara Jawa dan Handil II. Ada juga dari Sulawesi. Tapi belakangan minyak goreng kelapa tak popular lagi karena kelapanya makin berkurang sejalan dengan berkembangnya perkebunan kelapa sawit.
Padahal waktu ibu bikin minyak kelapa saya suka membantu, karena senang mencolek gumpalan kelapa yang disebut tai lala. Enak sekali, karena tai lala itu digunakan untuk fla (vla)-nya makanan jengkol.
Ada pertanyaan yang membuat kita semua bingung seribu pusing, bukankah Indonesia produsen CPO terbesar di dunia. Bukankah Kaltim masuk 5 besar daerah produsen sawit di Indonesia (Luas perkebunan kelapa sawit di Kaltim 1,2 juta hektare. Terbesar Riau 2,7 juta hektare, Kalbar 2 juta hektare, Kalteng 1,9 juta hektare dan Sumut 1,3 juta hektare).

Sepanjang jalan tol Balikpapan-Samarinda jutaan pohon sawit terhampar hijau dengan gagahnya. Begitu juga di mana-mana di seluruh kabupaten termasuk di sekitar lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN). Tapi ko migornya bisa langka alias tak ada di pasaran? Sempat harganya meroket kemudian hilang seperti barang gaib. Mirip seperti pribahasa lama, kita mengalami situasi seperti “tikus mati di lumbung padi.”
Mengurai masalah migor memang ruwet. Ada yang menuduh kita keasyikan ekspor CPO. Maklum harga CPO dunia saat ini sangat tinggi-tingginya dan menjadi minyak nabati termahal di dunia. Harga CPO tinggi akibat kelangkaan minyak bunga matahari dampak krisis di Ukrania. India misalnya meminta Indonesia mengurangi blending (pencampuran) biodiesel yang saat ini adalah wajib B30 agar ekspornya bisa ditingkatkan. Maklum sebagian besar kebutuhan migor India berasal dari Indonesia.
Untuk mengurangi tuduhan kecendrungan melulu ekspor, Pemerintah mengeluarkan kebijakan kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik (DMO) sebesar 20 persen dari produksi. Tapi kebijakaan ini sepertinya juga tidak terlalu efektif. Buktinya, kata Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, saat ini ada 6 produsen migor putuskan berhenti produksi karena tidak mendapatkan pasokan CPO.
“Kebijakan DMO hanya bisa dilaksanakan perusahaan terintegrasi. Yakni, produsen eksportir dan memasok ke pasar domestik alias perusahaan terintegrasi. Anggota GIMNI ada 34 produsen migor, hanya 16 yang terintegrasi. Sisanya, produsen yang pasarnya memang hanya dalam negeri. Lalu ada perusahaan di luar GIMNI , yang hanya eksportir migor,” kata Sahat.
Tutupnya 6 produsen migor dalam negeri dilaporkan juga terkait dengan tidak bertambahnya angka produksi CPO di Indonesia. Malah dikabarkan ada kecendrungan produksi menurun akibat cuaca dan terbatasnya lahan perkebunan kelapa sawit.
Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono, tahun 2020 produksi CPO turun 0,3 persen dari 47,18 juta ton pada 2019. Produksi CPO Indonesia tahun 2021 mencapai 46,88 juta ton. Angka ini berkurang 0,31 persen dari produksi tahun 2020 yang mencapai 47,03 juta ton.(Tulisan Kiriman RIZAL EFFENDI/Bersambung)