Senin (17/8) lalu menjadi puncak musim kemerdekaan. Sementara geliat festival dan lomba-lomba 17 Agustus sedang membara, di pinggir jalan, lapak-lapak dadakan yang sempat menjamur kini sudah mulai menyusut. Padahal sejak pertengahan Juli tahun ini jalan-jalan Kota Samarinda banyak dihiasi aneka bendera Merah Putih, umbul-umbul, dan berbagai pernak-pernik Agustusan. Perubahan rona ini menandakan bahwa penjualan aktivitas jual-beli sudah menemui detik akhir seakan berucap: “sampai jumpa di tahun depan.”
Memang, pemandangan tahun ini terasa berbeda. Di balik dominasi warna merah dan putih, tersimpan kisah dua sisi yang kontras: satu sisi mengeluh karena sepi pembeli, sisi lain justru kebanjiran omzet. Dua sisi itu adalah pedagang konvensional dan pedagang online.
Banyak pedagang musiman yang merasa tertekan oleh persaingan yang semakin ketat. Mereka yang biasanya mengandalkan ramainya jalanan kini harus berhadapan dengan tren belanja online. Di platform e-commerce, bendera dan umbul-umbul dijual dengan harga yang jauh lebih murah, itu benar-benar penjualan eceran dengan harga grosir.
Di sisi pedagang konvensional, rata-rata menyebutkan bahwa omzet mereka turun drastis, ada yang hingga 90% dibanding tahun-tahun sebelumnya. “Tahun kemarin sudah begitu terasa penurunannya. Kalau dua tahun yang lalu sehari bisa dapat Rp2 juta, tahun lalu bisa dapat Rp700 ribu, sekarang dapat Rp300 ribu saja sudah bagus. Bahkan ada teman-teman yang berhari-hari tidak laku. Padahal sudah masuk bulan Agustus,” ujar Ucu, salah seorang pedagang bendera di kawasan jantung Kota Samarinda.
Di sisi lain, tidak semua pedagang mengalami nasib serupa. Beberapa pedagang mencatatkan kenaikan omzet yang signifikan. Bahkan ada pedagang pernak-pernik yang masih berhasil meraup omzet hingga Rp1,2 juta dalam sehari, terutama dari penjualan dekorasi untuk perkantoran dan sekolah.
“Tahun depan saya rasanya ingin fokus jualan bendera secara online. Kalau mengandalkan lapak (konvensional-red) seperti sekarang hasilnya tidak seberapa. Saya memang sudah jauh-jauh hari pakai media sosial untuk jualan,” ungkap Dian.
Ia melihat kondisi sekarang ini seakan menjadi petunjuk bahwa pergeseran perilaku belanja memang sudah terjadi. Di samping memang semangat merayakan kemerdekaan masih sangat tinggi. Sehingga masih ada masyarakat yang belanja ke lapak-lapak. Momen HUT RI ke-80 dengan tema “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju” tampaknya memberi berkah tersendiri bagi sebagian pelaku UMKM.
Kisah pernak-pernik Agustusan tahun ini adalah cerminan dari dinamika pasar yang terus berubah. Para pedagang di pinggir jalan kini dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan dengan cara lama atau berinovasi. Sebagian besar masih memilih bertahan, berharap rezeki datang menjelang hari-H. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pembeli kini lebih leluasa membandingkan harga.
Selembar umbul-umbul dijual online seharga Rp15.000, sementara di lapak barang serupa dijual Rp20.000-Rp25.000 per lembar. Ini menantang para pedagang musiman untuk berpikir lebih kreatif, misalnya dengan menawarkan jasa pemasangan, jasa sablon atau menjual produk yang lebih unik yang tidak mudah ditemukan secara daring.
“Jika ada yang mau pajangkan, mau tidak mau diterima. Selama ada yang mau membeli sesuai harga yang kami inginkan, memberikan jasa pemasangan secara cuma-cuma,” lanjut Dian.
Secara keseluruhan, penjualan pernak-pernik kemerdekaan tahun ini menggambarkan dua sisi mata uang. Di satu sisi, ada tantangan besar akibat penetrasi pasar digital. Di sisi lain, semangat merayakan Hari Kemerdekaan terus menyala, memberikan peluang bagi mereka yang mampu beradaptasi.
Kembali ke bulan Juli yang telah lalu, saya sempat berbincang dengan beberapa pedagang bendera musiman. Optimisme sebagian besar mereka untuk mendapatkan omzet besar di tahun ini cukup tinggi. Berbagai strategi penjualan sudah disiapkan. Adapun sebagian kecil lain mencoba lebih realistis. Mereka tetap mencoba peruntungan, namun tidak menampik kemungkinan-kemungkinan akan terjadinya penurunan penjualan dari tahun sebelumnya.
Prediksi itu akhirnya terbukti. Para pedagang bendera dari Jawa Barat, yang telah mencoba peruntungan di pinggir jalanan Samarinda, ternyata tidak keliru. Jauh sebelum lapak mereka ramai, para pedagang ini sudah mencium gelagat tak sedap. Mereka tahu, tahun ini tidak akan semudah tahun-tahun sebelumnya. Pangkal masalahnya, menurut mereka, adalah efisiensi pemerintah.
Fakta di lapangan membenarkan dugaan itu. Sejak awal tahun, instansi pemerintah memang sudah diperintahkan untuk mengencangkan ikat pinggang. Berbagai pos anggaran, terutama yang bersifat seremonial seperti perayaan 17 Agustus, dipangkas atau dialihkan untuk program-program yang lebih prioritas. Dampaknya terasa hingga ke tingkat paling bawah. Organisasi Perangkat Daerah (OPD) kini disibukkan dengan fokus baru, yaitu penyerapan anggaran untuk kegiatan yang langsung menyentuh masyarakat, sesudahnya barulah untuk kemeriahan dekorasi.
Dengan demikian, perayaan Kemerdekaan kini tidak lagi diukur dari seberapa megah umbul-umbul yang terpasang, melainkan dari esensi dan manfaatnya. Sikap ini berimbas pada sepinya pembelian pernak-pernik Agustusan dalam skala besar oleh instansi pemerintah. Apa yang dulu menjadi ladang rezeki besar bagi para pedagang musiman kini harus berbagi panggung dengan prioritas lain yang lebih mendesak.
Pada akhirnya, kisah bendera dan umbul-umbul tahun ini bukan hanya sekadar cerita tentang untung rugi. Ini adalah potret pergeseran budaya, dari perayaan yang megah menjadi perayaan yang lebih efisien dan terarah. Dan para pedagang di pinggir jalan adalah saksi hidup dari perubahan tersebut, merasakan langsung dampak dari sebuah kebijakan yang dibuat di gedung-gedung pemerintahan, ribuan kilometer jauhnya.(dosen)