Nasib Hutan Galam yang Tak Sebaik Hutan Mangrove

Poskaltim.id, Samarinda – Selain tanaman bakau atau mangrove, masyarakat pesisir juga mengenal kayu Gelam atau Galam. Kayu dengan fisik mirip dengan Kayu Putih ini juga memiliki aroma wangi dari daunnya. Walaupun kemudian hari diketahui jika kandungan minyak atsiri dalam kayu Galam dan kayu Putih ternyata berbeda.

Tanaman ini hidup sepanjang pesisir Kalimantan, membentang dari Kalimantan Tengah, Selatan dan Timur. Uniknya lagi, populasi kayu Galam ini hanya ada di Kabupaten Paser dans ebagian kecil Penajam Paser Utara.

Selama ini kayu Galam berukuran besar hanya dimanfaatkan sebagai tiang penyangga rumah panggung, atau sebagai cerucuk, yaitu penahan longsor yang ditancapkan tegak lurus, baik dalam pengerjaan jembatan gorong-gorong hingga cerucuk untuk penahan badan jalan.

Di perkotaan, kayu gelam berukuran kecil kerap digunakan sebagai penopang dalam pembangunan rumah baru. Kayu berukuran pergelangan tangan orang dewasa ini digunakan sebagai penyangga  darurat saat mengerjakan pekerjaan di tempat tinggi.

Namun, kayu yang telah lama memiliki nilai ekonomis ini kalah pamor dibandingkan dengan kayu bakau atau mangrove. Ibarat anak tiri, kayu Galam tidak pernah mendapatkan perhatian untuk urusan konservasi. Sebaliknya hutan Galam dibabat habis untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah.

Pun dengan upaya pelestarian, seolah latah, semua kabupaten/kota yang memiliki kawasan tanaman bakau ramai-ramai membuat “taman mangrove”, “hutan mangrove” dan lain sebagainya. Sementara tidak ada yang memperhatikan keberadaan kayu dengan nama latin Melaleuca galam atau Melaleuca kajuputi ini.

Melihat tiang-tiang rumah warga di Desa Teluk Adang adalah hal yang biasa. Kayu Galam yang keras dan tahan air menjadikan Galam sebagai pilihan untuk tiang rumah. Apalagi harganya sangat murah karena berada di hutan dekat desa warga.(Foto: dok YA)

Ahli Kehutanan Sosial, Ahmad Wijaya mengatakan populasi kayu Galam yang terbanyak di Kaltim hanya ada di Kabupaten Paser. Tepatnya di Desa Muara Adang, Teluk Apar dan Paser Mayang.

“Hutan Galam di Kabupaten Paser ini satu-satunya di Kaltim. Galam tumbuh subur pada habitat peralihan dari zonasi mangrove ke daratan berupa gambut pesisir,” jelasnya saat dihubungi pada Rabu malam (18/11/2020).

Dijelaskannya, pada tahun 2007,  diperkirakan populasi hutan Galam di Paser mencapai 2.000  hingga 3.000 hektar (Ha). Bahkan dari laporan Balai Konservasi Sumber Daya Alam wilayah III Balikpapan, tahun 2018 luasan hutan Galam tersebut hanya tersisa 1.500 Ha. Jumlah inipun juga telah mengalami degradasi baik perambahan maupun kerusakan lingkungan lainnya.

Masih dalam uraian Ahmad Wijaya, saat tahun 2006, formasi hutan Galam yang luas dan bagus berada di Desa Paser Mayang. Namun kini telah habis karena dipakai warga untuk membuat sawah dan tambak, karena tidak ada lahan yang tersedia setelah perkebunan kelapa sawit masuk desa. Kondisi ini diperparah setelah warga setempat tahu nilai ekonomis kayu untuk bahan bangunan.

“Dulu orang lokal hanya memanfaatkan kulit luar kayu Galam untuk bahan pembuatan perahu. Kulit kayu digunakan untuk menutup celah dan pori-pori saat papan badan perahu disatukan. Kulit kayu Galam ini bersifat  klokena, sehingga air mengembang dan bisa menutup pori-pori kayu yang terbuka,” jelasnya.

“Memang kayu Galam dan kayu Putih masih satu genus. Dulu bahkan disebut sama. Setelah tahu kandungan minyaknya juga berbeda kemudian nama spesiesnya diubah. Kalau kayu Putih disebut Melaleuca leucadendron, kalau Galam dinamakan Melaleuca galam atau Melaleuca kajuputi,” jelas Jaya.

Ahli kehutanan sosial ini juga menjelaskan peluang budidaya kayu Galam yang sangat mungkin dikelola oleh warga desa. Namun, karena ketersediaannya di alam masih dianggap banyak, warga belum berpikir untuk membudidayakannya.

“Persoalannya kita inikan senangnya yang tinggal  tebang, tinggal keruk dan jadi duit. Sehingga malas untuk membudidayakannya, Apalagi Galam ini habitatnya terbatas,” ujarnya.

Ia juga mengkritisi jargon Provinsi Kaltim yang sudah bagus. Misalnya,  dulu “Kaltim Green”, lantas berganti menjadi “Transformasi Ekonomi Hijau”. Namun, hal kecil seperti memperhatikan kawasan hutan Galam  yang kelak bernilai ekonomi tinggi justru disepelekan.

Nilai ekonomi yang tinggi selain dari nilai ekologi, tegas Jaya, justru pada minyak atsiri dan jasa lingkungan. Menurutnya, lebah hutan dan lebah kelulut yang madunya berasal dari bunga Galam konon kualitas madunya sangatlah baik.

“Orang yang memiliki sarang burung walet tidak sadar bahwa karena masih ada hutan gambut dan banyaknya jenis pohon Myrtaceae (pohon jambu-jambuan seperti Galam dan kayu Putih), menjadikan pakan burung walet yaitu serangga menjadi sangat  melimpah. Saya melihat rumah walet di sekitar daerah yang  hutannya masih bagus dan terjaga, rata-rata  kualitas dan kuantitas produksi sarang waletnya bagus,” ujarnya.

Sementara itu, saat kunjungan jurnalistik Humas Pemprov Kaltim dan beberapa media massa yang  mengunjungi Desa Teluk Adang di Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser, dilaporkan masih ditemukan tutupan hutan Galam yang luas walaupun seiring dengan degradasinya yang juga cepat.

Hutan Galam yang umumnya berada di rawa-rawa pesisir pantai. (Foto: Istimewa)

Dalam kunjungan untuk melihat desa Teluk Adang sebagai salah satu dari puluhan desa di Kaltim yang masuk dalam program penurunan emisi Forest Carbon Partnership Facility-Carbon Fund (FCPF-CF) yang disponsori oleh Bank Dunia, rombongan hanya sempat melihat tutupan hutan bakau yang terjaga dan dibudidayakan melalui reboisasi di tambak warga (sistem silvofishery).

“Ada hutan Gelam kita. Letaknya di belakang hutan mangrove. Iya masih banyak. Warga menjual kayu sebatang Rp10.000 (ukuran diameter di atas 10 centimeter,” jelas Kepala Desa Teluk Adang, Kurniansyah, Sabtu (14/11/2020).

Menurutnya, kayu Galam atau Gelam ini dijadikan warga sebagai tiang penyangga rumah karena jenis kayunya yang sangat kuat jika terkena air, apalagi air laut. Kekuatan kayu dan adanya hutan Galam yang masih melimpah inilah membuat banyak warga memanfaatkan kayu yang terus merosot keberadaannya ini.

Jika tidak ada upaya untuk pelestarian dan budidaya, seperti halnya pemerintah memperlakukan “saudara tiri” si kayu bakau atau mangrove, niscaya dalam satu atau dua dekade lagi, maka cerita tentang kekuatan kayu Galam hanya tinggal sebatas cerita saja.(Yuliawan Andrianto)

About Redaksi

Check Also

Telkomsel Salurkan Bantuan Peduli Banjir Kabupaten Mahakam Ulu dan Kutai Barat

Poskaltim.id, Samarinda —  Melalui Telkomsel Sambungkan Senyuman, perusahaan telekomunikasi ini atas bencana banjir yang melanda …

Tips Mudik Lebaran Aman dan Nyaman Ala Astra Motor Kaltim 2

Poskaltim.id, Samarinda  —  Safety Riding Officer Main Dealer Astra Motor Kaltim 2 membagikan cara berkendara …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *