Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur, Noryani Sorayalita

Soraya : Pengasuhan Positif Kunci Penting Dalam Pencegahan Perkawinan Usia Anak

Poskaltim.id, Tenggarong — Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur, Noryani Sorayalita mengatakan, tingginya angka perkawinan anak adalah salah satu ancaman bagi terpenuhinya hak-hak dasar anak, dan berdampak secara fisik serta psikis bagi anak-anak. Bahkan, perkawinan dini dapat memperparah tingginya angka kemiskinan, kasus stunting, putus sekolah dan penyakit berbahaya.

“Salah satu kunci penting dengan pengasuhan yang positif bagi anak oleh orang tua dan lingkungan masyarakat, sehingga dapat menentukan baik buruknya karakter seorang anak kelak,” harapnya.

Berdasarkan data perkawinan anak di Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan angka yang fluktuatif, yakni di Tahun 2018 sebanyak 953 anak, Tahun 2019 sebanyak 845 anak dan Tahun 2020 meningkat kembali sebanyak 1159 anak.

Dijelaskannya, untuk tahun 2021, angka perkawinan usia anak mengalami sedikit penurunan yakni 70 anak, sehingga menjadi 1.089 anak.

“Pada Tahun 2022 terjadi penurunan lagi yang cukup signifikan sebanyak 309 anak, yakni 780 anak dengan anak perempuan sebanyak 633 dan anak laki-laki sebanyak 147 anak,” ujar Soraya pada kegiatan Sosialisasi Peran Pengasuhan Positif dalam Upaya Pencegahan Perkawinan Usia Anak, berlangsung di Hotel Grand Elty Singgasana Tenggarong, Kamis (4/5/2023).

Ia menambahkan, pemerintah secara spesifik menargetkan penurunan angka perkawinan usia anak dari 11,21 persen (2018) menjadi 8,74 persen pada akhir tahun 2024 dan 6,9 persen tahun 2030.

Selain itu, pemerintah juga telah mengubah batas usia minimal untuk perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Menurut Soraya, perkawinan anak di Indonesia tidak terlepas dari adanya nilai-nilai yang tertanam di masyarakat Indonesia sejak lama yang mendukung atau menormalisasi perkawinan anak.

Misalnya saja,  perspektif agama yang berpandangan menikah adalah cara untuk mencegah terjadinya perbuatan zina, perspektif keluarga yang berpandangan perkawinan anak sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun dan perspektif komunitas yang beranggapan perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi.

“Pandangan-pandangan ini menjadikan perkawinan anak direstui dan difasilitasi oleh orang tua, keluarga dan masyarakat,” terang Soraya.(Erni Dia Lestari/adv)

About Redaksi

Check Also

Rancangan Grand Desain Pembangunan Kependudukan Untuk Merekayasa Kependudukan Di Daerah

Lensaborneo.con, Samarinda — Peraturan Presiden Nomor 153 Tahun 2014 tentang Grand Desain Pembangunan Kependudukan (GDPK) …

Bangganya PWI Kaltim Anggotanya Menerima Kalpataru

Poskaltim.id, Samarinda —  Ketua Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM), Misman dikabarkan akan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *