Poskaltim.id, Samarinda — Sumber Daya Alam (SDA) merupakan aset suatu negara atau daerah yang bernilai sangat ekonomis selain minyak dan gas bumi. Energi fosil masih menjadi kebutuhan manusia di seluruh dunia.
Komoditas pembentuk energ fosil ini tentunya apabila dikelola secara baik dan benar, bisa menambah pemasukan bagi negara atau daerah yang memilikinya.
Di Kalimantan Timur (Kaltim) misalnya, salah satu daerah yang memiliki SDA yang melimpah, sebut saja emas hitam, batu bara. Namun, disayangkan ketika batu bara digali atau ditambang akan bisa berdampak pada kerusakan lingkungan hidup.
Kerusakan lingkungan itu umumnya ditandai dengan terjadinya bencana banjir, munculnya lubang bekas tambang atau void yang acap menelan korban, tanah longsor, menjadi lahan kritis dan dampak ikutan lain yang berakibat kerugian bagi manusia.
Terkait dengan pengelolaan SDA batu bara tersebut, apakah menjadi petaka ataukah anugerah bagi pemiliknya?
Redaksi Poskaltim.id berkesempatan mewawancara seorang pakar lingkungan di Kaltim, Ir. Kifyatul Akhyar. Alumni Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru tahun 1988, mengatakan sesungguhnya lahan bekas tambang memiliki nilai plus untuk berbagai jenis usaha.
Ini disebabkan lubang bekas tambang menyediakan sumber air baku yang sangat berlimpah. Selain itu, lubang bekas tambang juga dapat menciptakan tersedianya lahan terbuka sebagai tapak kegiatan ekonomi dan tersedianya prasarana jalan untuk aksesibilitas antar tempat.
Ditanya usaha ekonomi apa yang dapat dibangun di lahan bekas tambang? Ahyar menjawab tentulah disesuaikan dengan di daerah mana lahan bekas tambang itu berada.
Misalnya di Samarinda, bisa dimanfaatkan untuk pusat industri tahu-tempe. Jika di daerah lain misalnya untuk mendirikan pabrik CPO (crude palm oil) atau pabrik tepung tapioka dan lainnya.
Pria yang kini juga berprofesi sebagai konsultan lingkungan menjelaskan untuk mendirikan suatu pabrik industri, tentulah memerlukan tapak bangunan dan prasarana jalan, juga pasokan kebutuhan air. Semua kebutuhan itu sudah tersedia di lahan bekas tambang.
Memang diakuinya, ada masyarakat yang menganggap air di void tambang itu mengandung zat berbahaya. Dipandang sebagai limbah bahan berbahaya beracun (B-3) sehingga tidak bisa mendapat izin mendirikan pabrik industri disitu, padahal tidak seperti itu.
“Saran saya solusi memanfaatkan lahan bekas tambang agar memiliki nilai plus, konsepnya adalah lahan bekas tambang dijadikan kawasan industri saja,” ujarnya.(Misman/*)