Desa Teluk Adang, Dukung Penurunan Emisi Walaupun Berada di Cagar Alam

Paser, Poskaltim.id – Masyarakat Desa Teluk Adang, Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur umumnya berprofesi sebagai nelayan. Mereka sejak ratusan tahun melaut dengan aneka jenis sampan mengarungi teluk dan laut di sekitar mereka yang sangat melimpah berbagai jenis ikan.

Selain melaut, mereka juga membudidayakan ikan Bandeng di kolam tambak. Hampir setiap warga memiliki tambak yang digarap secara konvensional. Sejak tahun 2000-an, warga mulai merintis usaha rumah burung walet, sebagai usaha sampingan di samping profesi mereka sebagai nelayan.

Kepala Desa Muara Adang, Kurniansyah mengatakan setiap tahun mereka merasakan adanya perubahan iklim. Misalnya terus naiknya muka air laut di desa mereka. Rumah warga yang umumnya rumah panggung bertiang, merasakan langsung pasang surut dan kenaikan muka air laut setiap hari.

Kades Teluk Adang Kurniansyah (baju merah) didampingi konsultan DDPi Kaltim Renaldus (tengah) saat menjelaskan kepada wartawan tentang keikutsertaan Desa Teluk Adang dalam penurunan emisi, diantaranya dengan penanaman mangrove.(Foto: Dokumentasi)

Jumlah penduduk di desa Muara Adang sebanyak 642 Kepala Keluarga atau sebanyak 1.783 jiwa. Desa ini telah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Tak ada dokumen tentang pembentukan desa. Cerita tetua desa dan adanya makam tua di desa mereka, menjadi patokan jika desa ini telah ada semasa Belanda berkuasa.

Sekitar tahun 1980-an, pemerintah menetapkan Desa Muara Adang sebagai kawasan cagar alam. Penetapan status cagar alam ini dikarenakan desa Muara Adang memiliki hutan Bakau atau mangrove (Rhizophora Sp)  yang sangat luas dan terjaga. Belum lagi hutan kayu Gelam atau Galam (Melaleuca leucadendron Linn) yang tumbuh subur dan luasannya sangat besar.

Masyarakat dan status hutan cagar alam nyatanya mampu berjalan beriringan dengan kehidupan masyarakat desa Muara Adang hingga hari ini. Karena potensi hutannya yang masih terjaga, Desa Muara Adang ini masuk diantara 99 desa Kampung Iklim program Forest Carbon Partnership Facility- Carbon Fund (FCPF-CF), yang nantinya turut berperan dalam penurunan emisi gas karbondioksida (CO2) dengan cara memproduksi oksigen (O2) melalui hutan-hutannya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cagar alam diartikan sebagai daerah yang kelestarian hidup tumbuh-tumbuhan dan binatang (flora dan fauna) yang terdapat I dalamnya dilindungi oleh undang-undang dari bahaya kepunahan.

Kades Kurniansyah menjelaskan pihak desa telah mengusulkan enclave untuk desanya. Sehingga desa yang umumnya berada di atas air ini dapat dikeluarkan dari status cagar alam. Sehingga, ada kepastian hukum batas-batas cagar alam yang tidak boleh diganggu dengan aktivitas warga.

“Warga sudah meminta untuk diajukan enclave (dikeluarkan dari batas cagar alam), tapi masih berproses. Karena desa ini telah lama ada sebelum status cagar alam ditetapkan pemerintah pada tahun 1980-an. Kalau sudah di-enclave, maka status cagar alam akan semakin terjaga dan warga pun dapat beraktivitas tanpa ada rasa was-was telah melanggar batas cagar alam,” ujarnya, saat menerima kunjungan wartawan dan Humas Pemprov Kaltim pada Sabtu (14/11/2020).

Dijelaskan juga, untuk mendukung agar tambak warga ramah lingkungan, Kurniansyah mengakui pihaknya telah mendapatkan pengetahuan ketika diajak BKSDA melihat tambak yang ditanami pohon bakau.

Cara tersebut mulai dilakukan di desanya mengingat pohon mangrove ini mampu memberi asupan pakan alami ke ikan yang dipelihara dan pohon bakau akan menjadi pelindung abrasi sekaligus menjadi tutupan hutan baru yang menghasilkan banyak oksigen.

Kini, ujarnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktorat Pengendendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung, Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung Mahakam Berau,  tengah melakukan program padat karya penanaman pohon  mangrove seluas 70 hektar.

“Program ini bersifat padat karya. Setiap warga yang tergabung dalam anggota kelompok yang melakukan penanaman akan dibayar sebesar Rp130 ribu per hari,” ujarnya.

Diakui Kurniansyah, ada ketakutan warga ketika program ini berjalan beberapa tahun lalu. Warga berpikir, karena mereka tinggal di cagar alam, maka anjuran untuk menanam pohon bakau di tengah tambak mereka, adalah upaya pemerintah untuk mengambil lahan mereka dengan alasan cagar alam.

Pemerintah melalui BKSDA, ujar Kurniansyah masih berbaik hati dengan status cagar alam yang tidak “terkunci” bagi masyarakat. Warga masih bisa memanfaatkan cagar alam, walaupun seharusnya status cagar alam  tidak boleh sama sekali untuk kegiatan usaha masyarakat.

Dengan usaha persuasif kepada warga, kini telah ada sekitar 200 orang yang mengikuti anjuran pemerintah untuk menanami tambak mereka dengan pohon bakau. Warga tambah bersemangat manakala, upah mereka dari menanam pohon mangrove ini nyata dikirim pemerintah melalui rekening warga.

Seperti yang diutarakan oleh Ibu Rahma (40), ia cepat merespon program ini tiga tahun lalu, manakala dijanjikan akan dibayar apabila mau menanami tambaknya. Ibu Rahma makin gembira manakala uang jutaan rupiah dari hasil menanam bibit mangrove di lahan puluhan hektar miliknya menjadi nyata.

Dari lima tambak seluas 20-an hektar, Ibu Rahma dan keluarga dibayar hingga Rp13 Juta atas jerih payahnya menanam lebih dari 13 ribu pohon bakau muda.

“Saya ikuti saja apa yang dikata pemerintah. Apakah kebutuhan dapur dan uang kuliah anak terus mendesak. Kami sekeluarga menanam mangrove di tambak. Ternyata ada uang masuk di rekening. Banyak warga tanya kenapa bisa dapat uang (dari pemerintah). Saya jawab karena saya sudah tanam mangrove di tambak,” ujarnya dengan logat Suku Bajau yang kental.

Pohon mangrove hasil penanaman warga yang tergabung dalam kelompok tani desa.

Apa yang dilakukan Ibu Rahma lambat-laun mempengaruhi pola pikir warga. Kini telah ada sekitar 200 orang yang tergabung dalam kelompok tani desa. Selain menerima upah harian yang cukup tinggi, mereka juga merasa menanam mangrove sebagai kerja tambahan yang menghasilkan rupiah.

Sementara itu konsultan dari Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kaltim, Reonaldus menjelaskan Desa Muara Adang memiliki tutupan hutan sekitar 3.000 ha. Alasan desa Muara Adang terpilih bersama puluhan desa lainnya di Kaltim yang masuk dalam program FCPF-CF (Forest Carbon Partnership Facility-Carbon Fund) karena memiliki tutupan hutan yang sangat luas.

Karena program FCPF ini bertujuan mengurangi emisi dan deforestasi hutan, maka DDPI telah melakukan sosialisasi yang pertama pada sejumlah desa di Oktober 2020. Beberapa desa tersebar di Kabupaten Berau, Kutai Timur, Kutai Barat , Paser, PPU dan Balikpapan.

DDPI sudah melaksanakan sosialisasi program Kampung Iklim Plus dan desa yang terpilih masih diberi kesempatan untuk merundingkan secara internal apakah mereka bersedia ikut serta dalam program ini ataukah menolaknya. Hasil dari kesepakatan desa ini akan dibawa ke pertemuan selanjutnya masing-masing di Balikpapan, Sangatta, Kutai Barat  dan Tanjung  Redeb di Berau.

“Kampung Iklim Plus lebih mengutamakan kegiatan-kegiatan mitigasi. Walaupun begitu ada juga beberapa kegiatan yang terkait dengan adaptasi. Misalnya memperkuat ketahanan pangan  juga bagaimana menghadapi kenaikan air laut, abrasi dan sebagainya. Apa yang dilakukan oleh desa Muara Adang juga melakukan mitigasi perubahan iklim dengan melakukan penanaman mangrove agar mas masyarakat tidak merusak hutan mangrove-nya,” jelas Reo.(Yuliawan Andrianto)

About Redaksi

Check Also

Pj Gubernur Kaltim Sambut Menhan RI Prabowo Subianto di Balikpapan

Poskaltim.id, Balikpapan – Penjabat Gubernur Kaltim Akmal Malik, Forkopimda Kaltim menyambut kedatangan Menteri Pertahanan (Menhan) …

Otorita IKN dan BPBD Kaltim Siapkan Mitigasi dan Kesiapsiagaan Bencana di Ibu Kota Nusantara

Poskaltim.id, Balikpapan – Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) membuat langkah strategis dan komitmen dalam penanggulangan …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *